I am not a stupid girl (part 1)

Alanis benar-benar tak habis pikir jika Bisma, pacar tersayangnya, dapat selingkuh di belakangnya. Dan yang lebih membuat ia tak habis pikir adalah pasangan selingkuhnya Bisma, yaitu Vera, salah satu sahabatnya dari kelas satu hingga kelas tiga sekarang. Bisma yang telah ia pacari selama dua tahun dapat mengkhianatinya dan yang lebih memalukan lagi ia selingkuh dengan sahabatnya sendiri. Rasanya ingin sekali Alanis balas dendam kepada mereka.
          Sepanjang mata pelajaran Kewarganegaraan, mata Alanis selalu tertuju kepada Vera yang duduk di depannya. Rambut Vera yang panjang terurai membuat Alanis bernafsu untuk menjam-baknya lalu berteriak di depan wajahnya ‘Dasar perebut pacar orang!’ supaya seisi kelas tahu mengenai kebusukan Vera. Untung saja Alanis dapat mengontrol dirinya sehingga perhatiannya beralih tertuju kepada Silla, salah satu teman sekelasnya—yang sebenarnya adalah salah satu orang yang tak Alanis sukai—, yang sedang presentasi di depan mengenai langkah-langkah yang harus ditempuh oleh penduduk Indonesia dalam menghadapi krisis perdamaian di Indonesia.
          “Kerusuhan yang terjadi di Indonesia sendiri biasanya datang dari diri masing-masing sang perusuh. Hal kecil bisa jadi besar karena selalu dikompori dan diadu domba. Jika kita tak bisa menahan diri, kita bisa terjerumus di dalamnya dan bertindak bodoh, yaitu ikut terkompori. Ada baiknya jika kita dikompori orang, jangan langsung berniat untuk balas dendam atau sebagainya. Gunakan otak dan simpanlah masalah otot karena orang yang berintelektual tinggi tak akan mudah terkompori dan dapat meredam emosi mereka. Mereka akan bertindak dengan akal mereka, yaitu dengan cara berbuat kebaikan lebih banyak lagi. Sudah semestinya, talk less do more karena tak ada gunanya jika kita berbicara banyak namun perbuatan baik kita hanya sedikit.” Alanis tertegun dengan kata-kata Silla barusan. Inilah yang sedang ia alami sekarang ini, krisis perdamaian ia dengan emosinya. Jika ia tak dapat menahan emosinya, rambut Vera sedari tadi sudah berada dalam genggamannya.
          “Gue emang nggak suka dia tapi kata-katanya bagus juga.” cetus Alanis dalam hati seraya melipat kedua tangannya di dada.
          Sepulang sekolah, Bisma telah menunggu Alanis di luar kelas. Seperti biasanya, mereka akan pulang bersama. “Hallo, Sayang, gimana tadi belajarnya? Konsen?” Alanis melirik Bisma tajam. Bisma memang tak tahu jika Alanis telah mengetahui kedok busuknya sehingga sikap Bisma masih senormal seperti biasa.
          “Ya, bisa konsen!” jawab Alanis ketus.
          “Kamu kenapa kok jutek banget?” tanya Bisma heran. Mulut Alanis yang sudah siap melontarkan cercaan mendadak tertutup kembali. Ia teringat oleh kata-kata Silla tadi, jika orang yang berintelektual tinggi tak akan mudah terkompori dan dapat meredam emosi mereka.
          “Oh, nggak apa-apa!” ujar Alanis sambil menghela nafas. “Aku capek aja mungkin. Mau cepet-cepet pulang.”
          “Yaudah, ayo kita pulang!” ajak Bisma seraya menggandeng tangan Alanis.
          Sesampainya di rumah, Alanis segera masuk ke kamarnya dan merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Matanya menerawang ke langit-langit kamar, mengingat kejadian tadi siang yang telah membuat mata ia terbuka lebar.
          Semua terjadi ketika ia selesai mengikuti ujian Biologi susulan di ruang guru karena minggu kemarin ia tak masuk sekolah. Ia melewati ruang sekretariat ekskul basket, dimana Bisma sedang mempersiapkan perlombaan basket yang akan Bisma ikuti. Sebelum ia masuk ke ruang sekretariat, ia mendengar suara Vera. Alanis heran apa yang sedang Vera lakukan di situ. Akhirnya Alanis memutuskan untuk menguping pembicaraan mereka.
          “Aku udah bosen sembunyi-sembunyi kayak gini, Bisma. Sampai kapan sih kamu jadian sama Alanis? Kapan kamu putusin dia?” ujar Vera dari dalam ruang sekretariat. Mata Alanis terbelalak begitu mendengar ucapan Vera.
          “Apa maksud Vera sih?” tanya Alanis dalam hati.
          “Tenang, Sayang, kamu jangan terburu-buru gitu ya!” balas Bisma.
          “Sayang?!” Alanis memekik dalam hati.
          “Aku akan putusin dia sesudah UAN. Aku juga sebenarnya udah nggak sayang sama dia karena sayang aku hanya untuk kamu.” Bisma berkata lagi.
          “Kamu janji ya putusin dia sesuah UAN? Habisnya aku benar-benar nggak berharga banget karena nggak punya status.” Alanis perlahan-lahan mengintip ke dalam ruang sekretariat. Di situ ia melihat dengan mata kepala sendiri Bisma memeluk Vera. Hati Alanis benar-benar hancur melihatnya. Tak terasa air matanya meleleh di pipinya.
          “Kamu sabar ya, lagian mana mungkin aku mau terus-terusan pacaran sama cewek bodoh kayak dia. Aku kan pacaran dengannya karena Alanis itu gampang banget dimanfaatin.” Bisma menyudahi pelukannya terhadap Vera. “Memangnya aku pacaran sama dia karena cinta? Nggak, Sayang!” Bisma menatap Vera dengan mesra.
          “Bukan kamu aja yang kayak gitu, Sayang. Emangnya aku, Flora, dan anak-anak yang lain berteman sama dia karena kita sayang sama dia? Nggak! Alanis itu gampang banget dimanfaatin apalagi dalam hal,” Vera mengecup pipi kiri Bisma. “uang.” Alanis sudah tak sanggup lagi melihat mereka bermesraan. Tubuhnya serasa ingin tumbang. Dadanya sesak dan nafasnya ter-engah-engah. Ia benar-benar tak habis pikir jika orang-orang disekelilingnya hanya memanfaat-kannya untuk kepentingan pribadi.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.